Rene Descartes

Selasa, 24 Agustus 2010

Masa kecil

Dua belas tahun setelah meninggalnya Cardano, lahirlah anak dari sebuah keluarga terpandang di Perancis, Rene Descartes. Ibunya, Jeanne Brichard, meninggal beberapa hari setelah melahirkan dan bayinya pun dalam kondisi lemah. Bayi ini tumbuh meskipun dengan wajah pucat, menderita batuk kering turunan ibunya – barangkali indikasi TBC.

Mempunyai dua kakak – laki dan perempuan – setelah ayahnya menikah lagi. Descartes muda tidak banyak mempunyai teman. Barangkali kurang dari enam orang, tetapi semuanya adalah sahabat setianya. Pergaulan paling dekat justru dengan inang pengasuh dan beberapa wanita tetangganya.

Pendiam dan memberi kesan seorang “kutu buku” sehingga ayahnya menjulukinya dengan sebutan “filsuf.” Anak kecil serius ini pada umur sepuluh tahun dikirim ke sekolah Jesuit di La Fleche yang terkenal di seluruh Eropa. Salah satu teman akrab Descartes adalah Mersenne. Kelak Mersenne ini selalu diberitahu Descates tinggal, karena Descartes senang menyepi, tidak mau diganggu dan mengarang tentang topik-topik kesenangannya. Di sekolah ini Descartes belajar logika, etika, metafisik, sejarah dan ilmu pengetahuan sebelum belajar aljabar dan geometri tanpa guru.



Menjadi objek penelitian

Ketika mendaftar di sekolah La Fleche, rektor sekolah itu, Pastor Charlet, menyukai anak kecil berwajah pucat ini karena dapat dijadikan obyek penelitian. Pastor ini mengemukakan hipotesis bahwa ada hubungan erat antara tubuh [body] dan pikiran [mind]. Untuk itu Pastor kepala ini berusaha memperbesar tubuh anak ini, memberi pendidikan dan bimbingan untuk mengasah pikirannya. Melihat bahwa anak kecil ini perlu banyak istirahat, maka Pastor kepala ini memberi “jatah” istirahat kepada Descartes lebih dari yang lain. Dengan rekomendasinya, Descartes kecil diperkenankan tidur selama dia mau, bangun sesuka hati dan tidak perlu disiplin hadir seperti halnya teman-teman lainnya. Tidak lah mengherankan bahwa hampir setiap pagi, seumur hidup Descartes, waktunya dihabiskan di tempat tidur saat dia perlu berpikir. Akan selalu dikenang bahwa pagi yang tenang dan sedikit meditasi adalah sumber inspirasi bagi filsafat dan matematika. Akar filsafat yang didasari oleh skeptikisme rasional membuat dia menyatakan “Cogito ergo sum” (Saya berpikir, maka saya ada).

Pelajaran bahasa Latin, Yunani dan bahasa-bahasa negara Eropa lainnya diperoleh selama sekolah. Lulus dengan pesan dari para guru-gurunya bahwa sekarang dia memasuki dunia nyata. Persahabatan dengan Pastor Charlet tetap terjalin bahkan akhirnya terjalin persahabatan abadi antar dua manusia beda generasi ini.



Berjudi

Kembali ke rumah pada umur 18 tahun yang menyatakan bahwa semua yang dipelajarinya adalah sampah tanpa guna. Menikmati waktu beberapa bulan, pulang menengok keluarga sambil belajar anggar dan berkuda sebelum kembali berkemas guna masuk universitas Poiters dengan pilihan studi bidang hukum. Ayahnya sebagai seorang pengacara merasa senang sekali karena mempunyai harapan bahwa kelak ada yang bakal meneruskan profesinya. Dua tahun kemudian Descartes lulus, tapi justru ingin berpetualang. Pergi ke Paris dan selama beberapa bulan berjudi. Tidak lama dia mengajukan bea siswa untuk mempelajari matematika. Selama dua tahun, dengan tekun dia belajar matematika di tempat tidur sambil mata menerawang memandang. Kebiasaan lama – di La Fleche - menghabiskan lebih banyak waktu di tempat tidur, membuat dia baru mendusin di atas jam 11.00. Menghina dosen dan menuruti keinginannya sendiri adalah rutinitas bagi dirinya.



Menjadi Prajurit & Berperang

Masih berjudi meskipun dalam beberapa kesempatan sering menang, tapi lebih banyak kalah. Ditambah masih tetap bangun siang membuat hidup Descartes terpuruk. Dalam suatu kesempatan dia bertemu dengan sobat kentalnya. Dikatakan bahwa Descartes harus melihat sisi lain dari kehidupan dengan cara menjadi prajurit. Pada ulang tahunnya ke-22, Descartes menjadi prajurit Pangeran Maurice dari Orange dan dikirim ke kota kecil di Belanda, Breda. Tidak puas dengan tindak-tunduk dan tindakan yang sesuai dengan harapannya, Descartes dengan penuh gerutu kembali ke kemah dan kembali ke Paris sebelum berangkat ke Jerman. Pada saat karir, tubuhnya menunjukkan gejala tidak sehat lain seiring dengan umur makin bertambah. Terus mencari kesempatan sampai akhirnya dia sampai di Frankfurt, dimana belum lama raja Ferdinand II naik tahta. Darah prajuritnya bergolak melihat pawai kerajaan. Tidak lama Descartes, mendaftarkan dirinya kembali sebagai prajurit Bavaria yang tidak lama kemudian mencetuskan perang dengan Bohemia. Saat musim dingin tiba, tidak ada perang, Descartes mempunyai banyak waktu untuk kembali merenung dan mencari jati diri.

Diceritakan bahwa dia bermimpi, tiga kali bermimpi. Pertama, dia dibawa terbang oleh angin jahat dari gereja atau sekolahnya sampai ke suatu tempat dimana angin itu kemudian kehilangan kekuatannya; kedua, dia menyaksikan hujan badai disertai guntur yang sangat menakutkan tetapi tidak mencederai dirinya; ketiga, dia bermimpi membaca kamus dengan awal berisikan puisi Ausonius dengan kalimat pembuka, “Quod vitae secatabor iter?” [Jalan kehidupan apa yang harus kutempuh?]

Meskipun bukunya sudah terbit, Descartes tetap menjadi prajurit. Pada tahun 1619, meskipun setengah dari pasukannya terbunuh dalam pertempuran di Prague, dia selamat. Terus berperang, sampai akhirnya dia memenangkan pertempuran pada tahun 1620, dan memasuki kota untuk menangkap para tawanan. Salah satu tawanannya adalah Ratu Elisabeth * yang saat itu masih berusia empat tahun.

Kemenangan perang memberinya banyak uang. Tidak pulang ke Perancis karena saat itu dilanda epidemi dan ada perang Huguenot sehingga tanpa daya tarik. Eropa bagian utara tenang dan bersih dan Desartes pergi ke sana. Di sini, dia kembali mendapatkan keberuntungan. Dalam suatu perjalanan naik perahu, semua awak perahu berniat merampok, membunuh, dan membuang mereka ke laut. Mereka tidak menyadari bahwa Descartes memahami bahasa mereka, sehingga dengan mengacungkan pedangnya Descartes menyuruh mereka mendayung balik. Kelahiran kembali geometri kembali terselamatkan.



Filsafat Descartes

Ketiga mimpi yang dialami Descartes membuat dia berupaya menafsirkan bahwa: dia sudah menjelajah dunia [di bawa angin], dihadang kekuatan besar yang tidak dapat dikendalikan [angin] tapi tidak mencederainya dan dia sekarang ada pada persimpangan jalan kehidupan yang harus dia pilih [Jalan kehidupan apa yang harus kutempuh]. Guntur adalah peringatan baginya bahwa jangan sampai terlambat dan kamus menunjuk bahwa dia harus menekuni ilu pengetahuan. Mencari kebenaran adalah karir pilihan baginya. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang ditulis pada buku harian, “Saya mulai memahami dasar-dasar penemuan spektakuler … Semua sains saling terkait seperti rantai.” Semua sains terhubung sama halnya theorema geometri menyebabkan dia mengemban tugas berat untuk menemukan hubungan-hubungan dan mata-rantai mata-rantai dalam pencarian alasan. Descartes bertekad untuk mengembangkan matematika dan filsafat. Pendekatan untuk memahami kedua topik di atas didasari pada ketentuan-ketentuan sbb.:

1. Tidak akan/jangan pernah menerima kebenaran dimana saya tidak benar-benar memahaminya.

2. Bagilah setiap kesulitan-kesulitan ke dalam kategori tertentu menjadi bagian-bagian kecil apabila memungkinkan.

3. Mulailah penyelesaian dari yang sederhana dan mudah sebelum menuju ke jenjang yang lebih kompleks.

4. Buatlah dengan cermat dan periksa secara menyeluruh sampai merasa yakin tidak ada yang diabaikan.



Bertemu Isaac Beeckman

Pada suatu kesempatan, di Breda, ketika dia berjalan-jalan, dilihatnya kerumunan orang dan Descartes yang diliputi rasa ingin tahu datang menghampiri. Di tengah kerumunan berdiri orang tua yang menantang siapa pun yang dapat memecahkan problem matematika. Memecahkan problem itu mudah baginya namun mengalami hambatan bahasa membuat Descartes berteriak-teriak mencari orang yang dapat menterjemahkan bahasa ibunya – Perancis, ke dalam bahasa Belanda. Muncul seorang lelaki setengah baya dengan senang hati menawarkan jasanya. Penterjemah itu tidak lain adalah Isaac Beeckman, matematikawan terkemuka Belanda saat itu, menyatakan bahwa problem matematika tersebut terlalu mudah karena langsung dapat dipecahkan. Beeckman heran, seorang prajurit dapat memecahkan problem matematika pastilah bukan prajurit biasa. Mereka saling berkenalan dan sejak saat itu Isaac Beeckman menjadi teman sekaligus pembimbing Descartes. Atas anjuran Beeckman pula lah, Descartes mau menekuni matematika kembali. Untuk memancing minat akan matematika, Descartes diberi tugas memecahkan problem termasuk menemukan hukum kecepatan jatuhnya benda yang sudah dirintis oleh Galileo. Galileo menemukan bahwa kecepatan jatuhnya benda adalah 32t kaki per detik kuadrat, di mana t adalah jumlah detik. Untuk ukuran ilmu pengetahuan, kecepatan itu dianggap terlalu lamban dan tidak efisien.



Kartesian

Pengaruh Beeckman terhadap Descartes sangat besar sehingga sering disebutnya dengan “Ayah spiritual sekaligus sumber inspirasi terhadap minat belajarku.” Dia membuat komitmen untuk menjadi perintis bidang matematika baru. Empat bulan setelah insiden pertemuan itu, Descartes melaporkan kepada Beeckman tentang penemuannya, cara baru mempelajari geometri. Setelah bertahun-tahun dihantui dengan metode-metode ahli-ahli geometri Yunani. “Tampaknya tidak ada sistem yang mampu memecahkan cara pembuktian jenius mereka [orang Yunani] kecuali diperoleh kelelahan luar biasa karena mencoba mencitrakannya.” Untuk menangani garis-garis dan bentuk-bentuk ruang diperlukan sebuah grafik untuk menggambarkannya. Grafik dibuat dengan menyilangkan garis horizontal - diberi nama sumbu x, dengan garis vertikal – diberi nama sumbu y, dimana persilangan itu terjadi pada titik nol [0]. Pada sumbu x sisi kanan adalah positif sedang sisi kiri negatif. Begitu pula, bagi sumbu y di sisi atas adalah positif dan sedang di sisi bawah negatif.

Bentuk-bentuk atau garis-garis dapat digambar pada grafik sessuai dengan posisinya yang ditandai dengan angka-angka. Sebagai contoh, sebuah titik dapat digambarkan oleh dua angka, satu menunjukkan jarak pada sumbu x dan lainnya menunjukkan jarak pada sumbu y. Misal: titik P dihadirkan dengan dua angka 2 dan 3 menunjuk 2 satuan ukuran pada sumbu x dan 3 satuan ukuran [yang identik] pada sumbu y dan ditulis dengan notasi titik P (2,3).

Apabila ada 2 orang pelari dengan kecepatan yang sama tapi satu pelari telah berada pada jarak 1 meter sedangkan jarak yang harus ditempuh 10 meter. Dengan mengandaikan y selalu di muka 1 unit dibandingkan x, maka dapat ditulis persamaan, y = x + 1 atau x – y + 1 = 0. Setelah lama “bermain” dengan garis-garis akhirnya Descartes menemukan bahwa semua garis lurus mempunyai persamaan umum: ax + by + c = 0, dimana a, b dan c adalah konstanta. Semua garis lurus dapat dijabarkan ke dalam satu macam persamaan aljabar.

Persamaan di atas, y = x + 1 [lihat: gambar 1] dapat disimulasikan dengan tabel di bawah ini sebelum semua titik-titik itu dihubungkan menjadi sebuah garis lurus.



Titik A B C D E F

y 2 3 4 5 6 7

x 1 2 3 4 5 6



Saat dia mempelajari bentuk-bentuk dengan menggunakan sumbu-sumbu, Descartes menemukan hasil mengejutkan. Diketahui bahwa semua bentuk mempunyai kategori persamaan umum, seperti halnya garis lurus. Menggambar theorema Pythagoras, pada sebuah lingkaran dengan pusat pada titik (0,0) dengan x dan y masing-masing menunjuk jarak dari titik pusat dan r adalah jari-jari lingkaran, diperoleh x² + y² = r². Rumus di atas merupakan fungsi lingkaran. Bentuk-bentuk lain seperti – ellips, hiperbola, parabola – juga mempunyai fungsi yang lazim disebut dengan persamaan tingkat kedua (kuadrat), sedangkan fungsi untuk garis lurus disebut dengan persamaan tingkat pertama (linier). **





Damai di masa tua

Sejak 1641, Descartes tinggal di desa kecil dekat Hague di negara Belanda bersama dengan putri Elisabeth (beserta ibunya) dan yang sekarang sudah remaja dan bersikeras untuk terus belajar. Merujuk ke belakang, hal itu diawali oleh kejeniusan Elisabeth mampu menguasai enam bahasa sebelum melalap semua literatur matematika dan sains. Salah satu dugaan bahwa putri ini patah hati sehingga mengabdikan dirinya pada ilmu. Saat dia membaca buku Descartes, keingintahuan tentang matematika timbul dan mengundang Descates dengan surat berisi kesediaannya menjadi guru.

Tahun 1646, Descartes menikmati kehidupan sederhana di Egmond, Belanda. Meditasi, berkebun dan melakukan korespondensi dengan ilmuwan-ilmuwan terkemuka Eropa adalah aktivitas sehari-hari. Dia tetap berpikir tentang matematika, terutama paradoks Achilles dan kura-kura, yang terlalu sulit dipecahkan pada saat itu. Sebelumnya dia memohon pensiun dari Raja Perancis, dengan syarat dia akan pulang dan tinggal di tanah kelahirannya. Permohonan Descartes disetujui, namun begitu dia datang ke istana, semua mata hadirin tertuju kepadanya seperti memandang orang asing dan tak seorangpun dari mereka tahu tentang permohonan pensiunnya. Mengetahui kenyataan itu, Descartes langsung kembali ke Egmond.



Meninggal di Swedia

Ratu Christine dari Swedia, yang mengagumi Descartes, beberapa tahun sebelumnya, memohon agar Descartes tinggal di istananya, tapi tidak ditanggapi. Putri yang selalu ingin belajar filsafat ini melalap hampir semua buku filsafat. Putri berumur 19 tahun ini akhirnya mengalami kesulitan saat berusaha memahami filsafat Descartes. Tidak ada pakar atau filsuf di lingkungan istana yang mampu menjelaskan. Dia harus mengundang sendiri pencetus filsafat itu. Descartes yang merasa sudah nyaman tinggal di Egmond, merasa mendapat kehormatan ketika Admiral Fleming datang menjemputnya. Terpekur dia memandangi kebun kecil yang setiap hari dirawatnya sebelum meninggalkan Egmond untuk selamanya,

Kagum dengan kemauan keras sang ratu belajar filsafat, sampai kepalanya tidak bergerak saat membaca buku dan lupa waktu. Pelajaran dimulai pukul 5 dini hari. Hawa dingin dan radang paru yang diidap Descartes sebenarnya tidak cocok tinggal di Swedia. Kenangan saat di La Fleche, setiap pagi hari saat dia masih tidur dipandangi oleh Pastor Charlet membuat dia betah di Swedia meski terus merindukan Egmond. Awal tahun 1650, radang parunya kambuh dan tanggal 11 Februari 1650, Descares meninggal dan mewariskan filsafat pada seorang ratu. Tujuh belas tahun kemudian, saat Christine diangkat menjadi ratu, tulang belulang Descartes dibawa pulang ke Perancis, setelah ada konflik kecil yang menyebutkan bahwa Descartes tetaplah warga Perancis. Tidak lama setelah itu buku-buku karangan Descartes masuk ke dalam Index, daftar buku yang disusun oleh gereja di bawah pimpinan Kardinal Richelieu ***, karena dianggap buku-buku tersebut mampu memberi pencerahan baginya.



* Kelak akan menjadi murid kesayangan Descartes.

** Apabila titik pusat lingkaran tidak pada titik (0,0), misal pada titik (2,3) maka fungsi lingkaran dapat dicari dengan rumus (x-2)² + (y-3)² = r²; Fungsi parabola y² = 2px dengan pucak parabola pada titik (0,0); fungsi ellips : x²/a² + y²/b² = 1 dengan pusat ellips ada pada titik (0,0); fungsi hiperbola: x²/a² - y²/b² = 1 dengan pusat hiperbola pada titik (0,0)

*** Barangkali pembaca merasa tidak asing dengan nama ini. Novel ‘Three Musketeers’ dari Alexander Dumas mengambil latar belakang dan tokoh-tokoh jaman ini. Nama Kardinal ini juga akan muncul pada riwayat Blaise Pascal.





Sumbangsih

Menghubungkan aljabar dengan geometri barangkali adalah karya besar Descartes. Suatu persamaan aljabar dapat diekspresikan ke dalam bentuk geometri. Bentuk lingkaran, elips, hiperbola, parabola dapat diekspresikan dalam persamaan-persamaan aljabar. Ditambah dengan sistem Kartesian (menggambar dalam potongan sumbu x dan sumbu y – pada titik (0,0) yang membentuk 4 kuadran memudahkan para matematikawan mengformulasikan hal-hal yang selama ini merupakan obyek-obyek yang kasat mata menjadi nyata.

Peranan Descartes dalam filsafat juga layak ditonjolkan. Lewat “aksioma-aksioma”, Descartes meletakkan fondasi atau pilar bagi pengembangan matematika di kemudian hari oleh matematikawan lain. Seperti ucapan Newton – yang terkenal, “Saya berdiri di pundak raksasa.” menunjuk pencapaian Newton tidak lepas dari peran raksasa itu. Salah satu raksasa itu adalah Descartes. (Raksasa lain adalah Galileo dan Kepler).

0 komentar: